Yang patah tumbuh & Yang hilang berganti
Lantunan lagu Banda Neira “Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti” ini kerap menemani waktu-waktu saya menjalani rutinitas di depan layar komputer. Alunan lagu yang digubah dari puisi Chairil Anwar ini mudah diterima telinga. Itu membuat lagu ini kadang bisa tiba-tiba saja mengiang di kepala.
Selain lagunya, kata-katanya pun menjadi kekuatan tersendiri. Potongan liriknya di atas sangat mengena dan dalam maknanya. Seperti bunyi pepatah, “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti” setiap kita memang pada akhirnya akan menjalani perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan lain.
Pepatah ini memang kerap muncul ketika seseorang merasakan patah hati. Semacam ungkapan penghibur bahwa yang patah akan tumbuh kembali, dia yang telah menghilang pun akan berganti dengan yang lain, yang lebih baik lagi. Ah, tapi saya rasa ungkapan ini tak cuma bicara soal patah atau luka hati belaka. Jika kita mau menggalinya lebih dalam.
Tentu kita semua sepakat, kedukaan bukan cuma hadir dalam drama percintaan atau roman picisan. Rasa duka bisa muncul kapan, di mana, dan kepada siapa saja.
Dari pelbagai amsal, mungkin contoh sederhananya adalah ketika kita kehilangan uang. Tentu rasa duka bakal menyelimuti kita. Dan ingat apa kata pepatah ini, “yang patah tumbuh, yang hilang berganti”. Hati yang sedih bisa segera pulih, dan uang kita yang hilang bakal berganti dengan rejeki yang lebih baik. Dalam konteks yang lain. Sebulan yang lalu, kita mendapat kabar duka. Buya Yunahar Ilyas, seorang kiai, ulama, dan intelektual Muhammadiyah mangkat. Saya pun menulis di Qureta tentang beliau, Kiai-cum-Intelektual Itu Telah Mangkat. Dan tepat kemarin malam, pukul 20.55, KH Salahudin Wahid wafat. Saya pun mengunggah ucapan belasungkawa di website ini, Selamat Jalan Gus Sholah. Bisa kita katakan kedua ulama dan kiai kharismatik ini juga merupakan tokoh bangsa. Mereka sama-sama besar dan membesarkan ormas Islam terbesar. Buya Yunahar di Muhammadiyah. Gus Sholah di NU. Dan kita tahu kedua ormas Islam ini memiliki peran yang besar untuk kemajuan bangsa Indonesia. Dalam tulisan Selamat Jalan Habibie, Selamat Jalan Dillon saya juga mengucapkan belasungkawa, penghormatan, dan terima kasih yang besar kepada keduanya. BJ Habibie selain mantan presiden RI juga merupakan tokoh Muslim berpengaruh bagi perkembangan teknologi di dunia. Sementara HW Dillon, adalah orang yang amat dekat dengan rakyat dan gigih memperjuangkan hak-hak petani dan nelayan. Kepergian para tokoh ini merupakan kehilangan yang amat besar bagi kita, segenap bangsa Indonesia.
Sehingga, siapa pula yang hatinya tidak patah ditinggal pergi orang-orang hebat seperti mereka. Belum tentu ada yang akan sama seperti para tokoh tersebut di kemudian hari. Namun, lagi-lagi kita mesti ingat pepatah ini, “yang patah tumbuh, yang hilang berganti”. Ya, hati, asa, dan semangat yang patah mesti kembali tumbuh. Karena yang hilang pasti kan berganti. Siapa para pengganti mereka? Suatu ketika saya mendapatkan kiriman via Whatsapp yang mengutip ungkapan seorang tokoh ormas Persis, yakni KH Shiddieq Amien. Kiriman meme quotes itu berbunyi, “Maka setiap kali ananda mendengar berita pelepah tua jatuh, seorang ulama wafat, bunyi itu haruslah menjadi sinyal bagi ananda. Bahwa giliran ananda untuk tampil menggantikannya sudah dekat.” KH Shidieq meneruskan dengan pertanyaan, “Setiap saat kita mendengar ulama dan orang sholeh wafat, pergi satu per satu. Sedang pelanjutnya? Penggantinya?” Saya rasa kita semua tahu apa jawabannya. Semoga kita kelak mampu menjadi penerus perjuangan mereka yang telah mendahului kita. Ingat. “yang patah tumbuh, yang hilang berganti”.